Beranda Berita Baik Kisah Pendek Seorang Penggali Kubur Jenazah Corona dari Karawang

Kisah Pendek Seorang Penggali Kubur Jenazah Corona dari Karawang

KAMI duduk berhadap-hadapan di atas dua bangku panjang. Satu dari kayu. Satunya batu bata semen berkeramik. Dia mengenalkan diri sebagai Hendra Boim (42). Seorang pemberani dari Karawang. Pahlawan hidup yang namanya belum diabadikan sebagai nama jalan.

Sekilas, Hendra terlihat sebagai sosok bapak-bapak biasa yang kerap kamu temui di grup WhatsApp keluarga, pada jalan-jalan tiap pagi dan sore, bersama anak istri di pusat perbelanjaan sambil menenteng plastik, atau tetangga di samping rumahmu. Posturnya biasa saja. Ia, diantar Kasat Intelkam Polres Karawang Rezky Kurniawan ke lokasi janjian. Depan masjid Pemda Karawang.

Hendra datang mengenakan kemeja putih, ikat kepala batik, masker sensi, dan celana jins.

Yang membuatnya berbeda adalah pilihan yang sekarang ia lakoni: rela meninggalkan rumah jam berapapun untuk menguburkan jenazah pasien Corona.

Kalau petugas medis adalah palang merahnya, Hendra bersama sembilan rekannya yang tergabung dalam tim pengurus jenazah pasien Corona adalah palang hitamnya.

“Lebih mencekam dari Tsunami Aceh,” jawab Hendra dengan muka dingin ketika saya minta ia membandingkan seluruh pengalamannya selama terjun di misi kemanusiaan dengan pengalamannya saat ini sebagai relawan Corona. Ia pernah berbulan-bulan jadi relawan di Aceh ketika tsunami menyapu daratan serambi Mekah itu. Ia pernah terjun sebagai relawan kecelakaan Sukhoi di Gunung Salak. Juga pernah terlibat dalam misi pencarian seorang peziarah yang lenyap di Gunung Sanggabuana.

Tidak bisa tidak, saya teringat satu berita yang dirilis CNN Amerika, Jumat 10 April lalu. Ketika itu kematian sudah menyentuh kamar rumah. Setiap waktu, NYPD (New York Police Department) mendapat panggilan telepon untuk mengevakuasi jenazah positif Corona di dalam rumah. Apa yang polisi katakan? Ini 10 kali lebih buruk (dari kejahatan biasa) karena kami harus bertarung dengan peluru tidak terlihat. Kamu tidak tahu dari mana mereka (Corona) datang. Kamu setiap saat selalu ada di posisi bahaya, begitupun dengan keluarga kamu.

“Tsunami Aceh mencekam juga tapi tidak semencekam yang ini. Ini mah satu juga ngeri. Kalau di sana, ribuan tidak,” kata Hendra.

Sebelum wabah, Hendra tercatat sebagai staf di SMK Nurul Anshor di Kecamatan Jayakerta Karawang. Di lingkungan rumahnya, Hendra dikenal sebagai Ketua BPD (Badan Pemusyawaratan Desa) Makmurjaya.

Tim Palang Hitam terdiri dari 10 orang termasuk Hendra. Anggotanya lintas profesi. Ada yang THL (Tenaga Harian Lepas) di lingkungan Pemda Karawang, petugas kepolisian, PNS, dan masyarakat seperti Hendra. Saat prosesi penguburan, masing-masing berbagi tugas. Sebagian jadi tim doa, sisanya jadi tim angkut jenazah, sebagian lain jadi tim gali kubur.

Total, tim Palang Hitam sudah 13 kali mengantar jenazah dengan protokol standar Covid-19.

Tentu tidak ada yang lebih menggetarkan ketimbang pengalaman pertama. Hendra juga begitu.

Malam itu, ponselnya berdering. Jenazah pertama di tugas perdananya. Ia pamit meninggalkan seorang istri dan dua anak. Mereka sudah diyakinkan kalau jenazah Corona sudah disterilkan petugas medis. Tidak perlu takut. Dari rumah, Hendra tidak membawa apa-apa selain doa dari istri, dan bayang-bayang dua anaknya. Pada si sulung yang menginjak SD kelas lima, pada si bungsu yang masih kecil.

Di lokasi, baju perang jatahnya terlipat rapi. Baju hazmat, sepatu boot, sarung tangan, sarung kepala, kacamata pelindung, dan masker. Ia kenakan semua satu persatu. Bencana baru datang setelah itu.

“Waktu itu penerangan tidak seperti sekarang. Kami belum berpengalaman. Jadi memang kondisinya sangat gelap,” kata Hendra.

Rintangannya tidak hanya gelap. Bobot mati peti jenazah sampai 120 kilogram. Itu belum termasuk berat jenazah. Ditambah jarak mobil ambulans ke pemakaman sampai 500 meter.

Jadi beginilah mereka: sempoyongan bergantian mengangkut peti dengan APD lengkap. Mandi keringat.

“Sepatu boot sampai banjir keringat,” kata Kasat Intelkam Polres Karawang, menimpali Hendra.

Pengalaman itu diingat tim Palang Hitam dengan baik. Dari situ mereka belajar menyiasati rintangan teknis.

Tapi, masalah bisa datang dari non teknis. Dari hal-hal di luar diri mereka dan jenazah.

Masalah non teknis itu berupa: penolakan jenazah.

Idealnya, prosesi penguburan dengan protokol Covid-19 butuh waktu empat jam. Protokol mengharuskan jenazah cepat-cepat dikubur.

Pernah ada satu jenazah yang ditolak di dua lokasi pemakaman. Ia harusnya sudah dikubur malam itu, namun, ia baru bertemu liang kuburan pada esok harinya.

Berjam-jam jenazah menunggu negosiasi petugas dan masyarakat yang menolak.

“Kasihan. Prosesnya yang lama sih itu (negosiasi). Saya sampai siapkan liang kuburan cadangan,” kata Hendra.

Peristiwa penolakan itu sempat ramai di media sosial. Dandim 0604/Karawang, Kapolres Karawang, Sekda Karawang, dan Wakil Bupati Karawang sampai harus turun negosiasi dengan masyarakat.

Kepahlawanan

Hendra terjun sebagai tim Palang Merah karena ia ingin berbuat sesuatu atas nama kemanusiaan. “Saya tidak ada latar belakang pendidikan medis, makanya saya pilih ke pemakaman.”

Hendra tidak menyesali pilihannya. Ia terima seluruh konsekuensinya. Termasuk ketika harus mengenakan jas hujan karena kekurangan APD, atau berangkat ke kuburan jam berapapun. Atau menyaksikan keluarga jenazah mengantar mendiang ke liang terakhir dari jarak jauh.

“Capeknya ada. Jam 12 malam saya berangkat dari rumah ke kuburan, selesai pagi,” kata Hendra tanpa menyesal.

Termasuk ketika ditelepon sesaat setelah azan Magrib berkumandang.

Ceritanya begini. Usai siangnya memakamkan jenazah Corona di Jatirasa, Hendra pulang ke rumah. Ia ingin berbuka puasa dengan keluarga.

Baru saja azan Magrib selesai berkumandang, kabar masuk ke ponselnya. Ada jenazah Corona yang akan dimakamkan di Cilamaya.

Hendra meluncur meninggalkan makanan lezat yang dibuat istrinya. “Batalin di rumah, cuma tidak sempat makan yang berat,” kata Hendra.

Apakah Hendra takut? Kalau ia tidak takut, apakah keluarganya takut?

Menjawab pertanyaan ini, Hendra diam sebentar. Menarik napas, lalu bilang, “Pertama kali takut ada. Was-was. Terutama keluarga di rumah. Ketika saya pulang (setelah memakamkan) dari jauh keluarga sudah takut. Tapi sekarang orang rumah sudah diberi pengertian, yang meninggal Corona itu sudah steril. Tapi tetap kami tetap waspada selalu menerapkan SOP pemakaman.”

“Sekarang saya malah lebih takut ke yang masih hidup,” kelakarnya.

Bukan tanpa alasan. Mereka yang masih hidup, kata Hendra, bisa diam-diam membawa virus Corona di tubuhnya.

Hendra berpesan kepada masyarakat agar selalu mengikuti imbauan pemerintah. “Jangan sampai berkumpul. Corona itu nyata. Biarpun tidak terlihat tapi nyata.”

Seorang rekan saya mengajukan diri untuk meliput prosesi pemakaman. Kami, wartawan, mengangguk setuju sambil diam-diam berdoa dalam hati: tidak ada lagi yang mati.

Kami menambah doa ketika salah seorang tim Palang Hitam mengabari: tiga pasien positif sedang kritis di IGD.

Semoga tuhan menyelamatkan mereka yang belum dan akan kami ketahui namanya.

Hendra didampingi Kepala Bidang Pertamanan dan Pemakaman Novi Gunawan juga Kasat Intelkam Polres Karawang Rezky Kurniawan, dan beberapa tim Palang Hitam, pamit.

Hollywood menggambarkan pahlawan adalah sosok lelaki kekar dan berjubah. Mereka yang berdarah-darah di atas panji kebenaran. Dari Hendra kita belajar hal baru: beberapa pahlawan beraksi tanpa jubah, hanya masker, juga baju antivirus.

Faizol Yuhri


Catatan Redaksi: Rubrik kabar baik adalah rubrik kolaborasi antara TVBerita.co.id dan Nyimpang.com