JAKARTA – Menteri Ketenagakerjaan telah menetapkan kenaikan upah minimum 2023 maksimal 10 persen. Buruh tetap upayakan kenaikan upah bisa di atas 10 persen.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum 2023.
Presiden FSPMI, Riden Hatam Aziz menilai kenaikan UMP 2023 dalam Peraturan Menteri kali ini cukup mendekati kalkulasi ideal yang mencakup inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan produktivitas.
“Kami mengapresiasi terbitnya Permen (Peraturan Menteri) 18 Tahun 2022,” ujar Riden mengutip merdeka.com, Senin (21/11).
Baca juga: Soal UMK 2023, Pemkab Karawang Nunggu Penetapan Upah Minimum Provinsi
Dia menuturkan, Peraturan Menteri ini membuka peluang tidak menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021. Sebab hakikatnya, FSPMI bersama asosiasi serikat buruh lainnya menolak keras implementasi PP tersebut.
Usai penerbitan Peraturan Menteri ketenagakerjaan tentang pengupahan 2023, Riden bersama sejumlah asosiasi serikat pekerja terus mengupayakan beberapa wilayah agar kenaikan upah dapat maksimal, bahkan melebihi 10 persen.
“Kami akan maksimalkan di wilayah masing-masing nilainya bahkan di atas 10 persen karena harapan kami tetap bisa minimal 13 persen,” sebutnya.
Sebagaimana diketahui, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah menerbitkan peraturan tentang pengupahan minimum 2023. Dalam peraturan tersebut, maksimal kenaikan upah yaitu 10 persen.
“Penetapan atas penyesuaian nilai Upah Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), tidak boleh melebihi 10 persen,” demikian bunyi Pasal 7 dari Peraturan Menteri Nomor 18 Tahun 2022, yang dikutip pada Sabtu (19/11).
Peraturan tersebut ditetapkan pada Rabu 16 November 2022, kemudian diserahkan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk dan diundangkan pada Kamis 17 November 2022.
Baca juga: 500 Ribu Buruh di Jabar Kena PHK, Menko PMK Warning Perusahaan soal JKP
Selanjutnya, jika pertumbuhan ekonomi bernilai negatif, maka penyesuaian nilai Upah Minimum hanya mempertimbangkan variabel inflasi.
Variabel penghitungan upah minimum 2023 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan mencakup pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Berikut keterangan, dan formula penghitungan upah.
Naik 10 persen solusi terbaik
Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, menilai kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2023 tak lebih dari 10 persen merupakan solusi terbaik untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja atau PHK massal.
Kendati pun besaran tersebut masih lebih kecil dibanding tuntutan kaum buruh yang meminta kenaikan upah minimum sebesar 13 persen.
“Ini kan win-win solution. Kalau 13 persen mungkin pada perusahaan jangan-jangan agak berkeberatan. Berarti kan kalau inflasinya 5 persen minta 13 persen, itu berarti kan dua kalo lipat dari inflasi. Mungkin, jangan-jangan menurut saya, perusahaan berkeberatan,” ujarnya mengutip Liputan6.com, Minggu (20/11/2022).
“Malah justru menurut hemat saya, kalau dinaikan sekian, perusahaan tidak sanggup membayar, kemudian terjadi PHK, siapa yang rugi?” tegas Tadjudin.
Baca juga: Cerita Yahya, Anak Buruh Bangunan yang Sukses Jadi Wisudawan UBP Karawang
Menurut dia, pemerintah pasti sudah mempertimbangkan matang-matang kenaikan UMP maksimal 10 persen. Terlebih situasi ekonomi tahun depan diprediksi masih akan sulit, mengingat dana moneter internasional (IMF) hingga Bank Dunia yang merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi global.
Adapun kenaikan upah minimum maksimal 10 persen ini pun sudah jauh lebih tinggi ketimbang pada 2022, yang secara rata-rata berada di kisaran 1,09 persen. Tadjudin pun percaya, UMP 2023 tetap bisa meredam laju inflasi bila sampai tembus 6 persen.
“Jadi harus dipikirkan juga, jangan kenaikannya terlalu gede banget. Saat ini sudah lebih baik lah dibanding tahun yang lalu. Artinya, nilai upah yang diterima pekerja tidak tergerus, bahkan lebih tinggi 4 persen daripada inflasi,” ungkapnya.
“Kalau nanti katakan tahun 2023 inflasi sekitar 5-6 persen kan masih ada 4 persen longgar. Mudah-mudahan tahun 2023 tidak terjadi inflasi (tinggi),” kata Tadjudin. (red)