JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membeberkan proyek grass root refinery (GRR) Tuban yang dikerjakan PT Pertamina (Persero) bersama dengan perusahaan minyak asal Rusia, Rosneft, belakangan mulai terdampak sanksi Uni Eropa dan Pemerintah Inggris.
Seperti diketahui, Uni Eropa dan Pemerintah Inggris makin agresif memberikan sanksi pada sisi hulu hingga hilir portofolio pengembangan bisnis minyak dan gas bumi (migas) yang berafiliasi dengan perusahaan asal Rusia.
Arifin menuturkan dampak sanksi terhadap Rusia itu membuat akses pada pendanaan, teknologi hingga jasa konstruksi kilang terkendala serius. Konsekuensinya, pengerjaan kilang yang masuk ke dalam proyek strategis nasional (PSN) itu masih relatif lamban hingga saat ini.
“Kalau ini kan sanksi pendanaan, kemudian sanksi dari penyedia jasa seperti asuransi, peralatan, jadi memang terdampak,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, melansir Bisnis.com, Sabtu (1/4/2023).
Baca juga: Megaproyek Cinity Dinyinyir Warga Cikarang, Ngeri Jadi Meikarta Jilid II
Arifin mengatakan kementeriannya telah berkoordinasi dengan Pertamina dan Rosneft untuk mencari jalan keluar atas kebuntuan akses pendanaan serta jasa konstruksi lainnya terkait dengan upaya percepatan pengerjaan kilang mendatang.
Kendati demikian, dia masih enggan menerangkan potensi untuk mencari mitra baru pengganti Rosneft dalam proyek kilang baru tersebut.
“Ya [dicarikan mitra lain], kita tunggu saja,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, PT Pertamina (Persero) mengalokasikan belanja modal atau capital expenditure (capex) mencapai US$1 miliar atau setara dengan Rp15,18 triliun, asumsi kurs Rp15.189 untuk pengembangan dan pembangunan kilang baru tahun ini.
SVP Strategy & Investment PT Pertamina (Persero) Daniel S. Purba mengatakan alokasi investasi itu sebagian besar bakal difokuskan untuk percepatan penyelesaian program refinery development master plant (RDMP) Balikpapan yang ditarget beroperasi atau commissioning pada akhir tahun depan.
“Balikpapan sebagian akan selesai partially tahun ini, sudah dari targetnya itu, kita commissioning sebagian bisa di 2024,” kata Daniel, Kamis (24/2/2023).
Daniel menerangkan fokus investasi yang diberikan pada proyek Balikpapan itu diambil lantaran rencana pengembangan kilang itu sudah menunjukkan kemajuan rekayasa, pengadaan dan konstruksi (EPC) yang relatif signifikan. Di sisi lain, Daniel mengatakan, proyek pembangunan kilang baru atau grass root refinery (GRR) Tuban belakangan dipastikan tertunda dari rencana operasi pada 2027.
Baca juga: Proyek Kereta Cepat, Indonesia Ngutang Lagi ke China Rp 8,5 Triliun
Dengan demikian, kata dia, porsi investasi belum diarahkan pada pengerjaan kilang baru yang dikerjasamakan dengan perusahaan minyak asal Rusia, Rosneft tersebut.
Adapun, proyek kilang baru itu diperkirakan membutuhkan dana mencapai US$13,5 miliar atau setara dengan Rp205,05 triliun. Nantinya kilang Tuban bakal memproduksi 300.000 barel minyak per hari (bph) dengan kualitas produk EURO 5.
“Karena GRR belum mulai konstruksi investasi itu akan besar serapannya kalau sudah kontruksi sekarang ini kan masih penyiapan lahan, belum ada pengadaan barang kilangnya,” kata dia.
Tingginya harga minyak di pasar global menjadi momentum pemerintah untuk mengevaluasi proyek kilang di dalam negeri, apalagi Pertamina baru saja melakukan penyesuaian harga BBM dan LPG nonsubsidi. Kebijakan ini dilakukan di tengah depresiasi rupiah sehingga berisiko mengerek nilai impor BBM dan LPG.
PT Pertamina (Persero) membutuhkan dana investasi senilai US$40 miliar atau sekitar Rp569,44 triliun (kurs Rp14.236 per dolar Amerika Serikat) untuk bisa menyelesaikan proyek-proyek kilang yang tengah dijalankan. Dalam portofolio bisnisnya, terdapat 14 proyek kilang yang ditargetkan rampung hingga 2027. (*)