KARAWANG – Sepanjang tahun 2024, angka perceraian di Kabupaten Karawang, Jawa Barat mencapai hampir 5 ribu perkara. Dari jumlah itu, 3.281 di antaranya permohonan gugat cerai dari pihak istri kepada suami.
Humas Juru Bicara Pengadilan Agama Kelas 1 Karawang, Hakim Asep Syuyuti mengatakan, hingga Jum’at, (13/12) lalu jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Karawang sudah mencapai 4.959 meliputi malasah perkawinan dan warisan.
“Ini bisa nyampai 5.000 perkara, karena sekarang belum akhir Desember sudah mencapai 4.959 perkara,” katanya saat diwawancarai tvberita pada Rabu, 18 Desember 2024.
Baca juga: Dua Pekerja PT Monokem Surya Karawang Tewas Akibat Terkena Ledakan Smelter Titanium
Syuyuti memaparkan, kasus perceraian sendiri ada dua macam, yakni cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak diajukan oleh laki-laki, dan cerai gugat diajukan oleh perempuan.
Di Kabupaten Karawang, lanjut dia, cerai gugat jumlahnya mencapai 3.281 perkara berbanding jauh dengan cerai talak yang hanya sebanyak 960 perkara.

“Jadi banyak yang mengajukan perceraian kesini itu perempuan, jauh jumlah perkaranya lebih banyak perempuan,” paparnya.
Adapun faktor penyebab perceraian, dijelaskan Syuyuti tertera dalam Peraturan Pemerintah (PP) Pasal 19 Nomor 75 tentang Faktor Penyebab Perceraian.
Faktor-faktornya antara lain; salah satu pihak berzina, salah satu pihak meninggalkan 2 tahun berturut-turut, hukuman penjara 5 tahun lebih, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), cacat badan sehingga tak bisa melaksanakan kewajiban, perselisihan terus menerus, ekonomi hingga murtad.
Baca juga: Bikin Resah, Pengamen dan Gelandangan Diciduk Satpol PP Karawang
“Karawang di 2024 paling banyak perselisihan terus menerus sebanyak 1.789 perkara, ekonomi 912 perkara, salah satu pihak meninggalkan pihak lain 155 perkara, judi 49 perkara,” paparnya.
Dikatakan Syuyuti, dari banyaknya perkara perceraian yang masuk, hanya sebanyak 2 persen (pasangan suami istri) yang berhasil dimediasi. Meskipun begitu, pihaknya akan tetap berupaya memberikan nasihat dan edukasi kepada masyarakat bersangkutan agar menentukan pilihan yang bijak.
“Pengadilan agama bukan tempat cerai, tapi tempat menyelesaikan masalah. Kita ada mediasi, yang berhasil dimediasi kurang lebih 2 persen. Tapi kita tetep selipkan nasihat-nasihat atau edukasi kepada mereka,” tandasnya. (*)