
KARAWANG – Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Karawang bakal dijadikan objek cagar budaya tingkat kabupaten di tahun 2025.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Karawang, Obar Subarja membeberkan sejarah bahwa kantor tersebut telah ada sejak abad ke 18, dan beroperasi menjadi Kantor Kewedanaan pada masa kolonial Belanda.
“Kantor Disparbud adalah Kantor Kewedanaan Karawang Masa Kolonial Belanda,” ungkap Obar kepada tvberita pada Kamis, 17 April 2025.
Baca juga: 7 Objek Bersejarah di Karawang Bakal Diajukan Jadi Cagar Budaya
Kantor Disparbud ini, lanjut Obar, menjadi satu-satunya gedung peninggalan kuno yang ada di Kabupaten Karawang. “Peninggalan gedung kuno Karawang itu ada di Purwakarta, itu disana semua karena pusat kotanya disana. Pemda yang sekarang itu belum lama, jadi lebih tua gedung Disparbud,” katanya.
“Satu-satunya, kantor Disparbud ini cetak birunya masih ada. Dulu pendopo gak ada dinding, mulai dikasih dinding tahun 60an. Jadi kalau rapat minggon itu dulu bupati disini,” tambahnya.
Sekilas Sejarah Eks Kantor Kewedanaan Karawang Masa Kolonial Belanda

Nama Krawang (Karawang) pada masa pemerintahan kolonial pernah digunakan secara bersamaan untuk menyebut Keresidenan, Kabupaten, Kewedanaan dan juga nama Kecamatan.
Baca juga: Cerita Peminta Sumbangan Masjid di Jalan Karawang: Tahu Ada Larangan, tapi Nunggu Instruksi Desa
Kewedanaan dalam bahasa Jawa disebut Kawedanan, adalah sebuah unit administrasi pemerintahan yang berada diantara “Kabupaten” dan “Kecamatan”.
Konsep ini pertamakali diperkenalkan pada masa Hindia Belanda dan terus digunakan beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Penerapan kawedanaan ini paling jelas terlihat dibeberapa provinsi terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Selama masa kolonial dari tahun 1831 hingga 1942, bupati yang memimpin pemerintahan di pusat kabupaten didukung oleh sejumlah pejabat yang tinggal di ibukota kabupaten.
Pejabat-pejabat ini terdiri dari dua Patih, yaitu Patih Dalam dan Patih Luar, serta Patinggi, Hoofd Djaksa (Jaksa Kepala), Hoofd Penghulu (Penghulu Kepala), Hoofd Kommitteer (Komitir Kepala), Komitir Urusan Jalan, dan beberapa Mantri, termasuk Mantri Gudang Kopi, Ngabehi, Damang, Lengser dan lainnya. Setiap Patih dan Patinggi dilengkapi dengan seorang sekretaris yang berfungsi sebagai juru tulis.
Setelah Purwakarta ditetapkan sebagai ibukota baru Kabupaten Karawang pada 20 Juli 1831, para pejabat bawahan bupati tersebut juga berpindah dari Wanayasa ke Purwakarta.
Baca juga: Beda dari Dedi Mulyadi, DPRD Karawang Sebut Pungutan Dana di Jalan Tradisi Gotong Royong
Para pejabat tidak menjalankan tugas dan tanggungjawab mereka secara mandiri, mereka mendapatkan dukungan dari Kepala Cutak dan Kepala Distrik/Wedana.
Para kepala daerah yang berada di bawah bupati kerap melakukan “seba” atau pertemuan dengan bupati di pendopo untuk melaporkan kondisi di wilayah masing-masing.
Aktivitas Pemerintahan Kabupaten Karawang, yang beribukota di Purwakarta, terus berlangsung dan berkembang. Data dari tahun 1845 menunjukkan bahwa pada waktu itu, wilayah Kabupaten Karawang terbagi menjadi tanah pemerintah dan tanah partikelir, yang mencakup 16 distrik (Kewedanaan) dengan total 530 desa.
Salah satu distrik tersebut adalah Distrik Karawang, yang terdiri dari 34 desa. (*)