Beranda Regional Megaproyek Campaka Dulu, Baru Ubah RTRW, Aktivis : Ini Jelas Janggal

Megaproyek Campaka Dulu, Baru Ubah RTRW, Aktivis : Ini Jelas Janggal

CIANJUR, TVBERITA.CO.ID -Setelah dianggap janggal, kini sejumlah aktivis mengaitkan kegiatan konsultasi publik revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur 2011-2013, dengan Megaproyek Campaka. Kok bisa?

 

Ya, Ketua Cianjur People Movement, Ahmad Anwar menilai, ketika revisi RTRW baru dilaksanakan sekarang, hal itu mempertegas bahwa Megaproyek Campaka dikerjakan tanpa landasan aturan alias melanggar aturan yang berlaku.

“Kemaren kita kritik dan terlalu fokus soal konsultasi publik yang sebagian besar hanya dihadiri pejabat Pemkab Cianjur atau mereka yang pro pemerintah. Setelah ditelaah, Megaproyek Campaka kan sudah berjalan, kenapa RTRW-nya baru diubah?” ungkap pria yang karib disapa Ebes kepada wartawan, Selasa (24/17/2018).

Tak hanya itu, Ebes juga mengatakan, ketika RTRW baru diubah sementara Megaproyek Campaka sudah berjalan terlebih dahulu, itu juga mempertegas bahwa selama ini, sejumlah pejabat Pemkab Cianjur selalu memberikan informasi yang tak jelas terkait permasalahan pada Megaproyek Campaka.

“Kita masih ingat bahwa Sekda Cianjur, Aban Sobandi pernah mengatakan Megaproyek Campaka hanya tinggal nunggu pembahasan karena izinnya sudah ada. Jauh sebelumnya, Bupati Cianjur, Irvan Rivano Muchtar juga pernah mengklaim sudah ada izin dari Pemprov Jabar,” paparnya

“Semua itu diduga bohong besar, karena mana mungkin Pemprov berikan izin ketika RTRW-nya belum diubah. Ini memperjelas, Megaproyek Campaka itu melanggar dan dipaksakan. Simpelnya, dikerjakan dulu baru aturan dibuat. Kita juga harus ingat, Campaka itu kawasan zona merah bencana, jadi mana mungkin ada izin?” sambung Ebes.

Pada edisi-edisi sebelumnya, Ebes juga pernah menyebutkan, dalam prioritas penyusunan rencana rinci tata ruang yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Cianjur No. 17 Tahun 2012, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cianjur Tahun 2011-2031, tak ada disebutkan rencana tata ruang untuk Kecamatan Campaka. Lalu, kenapa ada Megaproyek Campaka?

“Pemkab Cianjur harusnya mengacu kepada Perda RTRW No 17. Jadi, jika tetap ada Megaproyek Campaka, itu artinya dipaksakan dan melanggar aturan yang ada, karena tidak tercantum dalam perda,“ katanya.

Ebes juga menjelaskan, dalam Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, tepatnya pada pasal 61 disebutkan, dalam pemanfaatan ruang setiap orang wajib menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Sementara terkait ketentuan pidananya, sambung Ebes, pasal 69 (1) menyebutkan, setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00.

“Pada pasal 73 (1) juga disebutkan, setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00,“ bebernya.

“Lalu di ayat 2 disebutkan, selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya,“ sambung Ebes.

Selain soal pidana, Ebes juga mengatakan, pada pasal 37, izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum. “Ini sudah jelas kok. Megaproyek Campaka itu dipaksakan dan melanggar aturan. Aparat penegak hukum harus segera bertindak,“ ungkapnya.

Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) perkantoran Campaka yang baru dibuat tahun ini, kata Ebes, menjadi bukti tambahan bahwa Megaproyek Campaka dipaksakan dan melabrak aturan.

“Logikanya sederhana, masa pekerjaan pembangunan dan sejumlah proyek fisik di Campaka sudah dilakukan, tapi amdalnya baru dikerjakan. Ini (Megaproyek Campaka) dipaksakan dan jelas-jelas langgar aturan. Harus segera ditindak,“ pungkasnya.

Menanggapi pernyataan Ebes, Ketua Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Cianjur, Rudi Agan mengaku memiliki pemikiran yang sama. Bahkan ia menduga, kegiatan konsultasi publik revisi RTRW yang tak banyak mengundang dari kalangan masyarakat, hanya untuk menutupi kesalahan-kesalahan kebijakan pemerintah.

“Sudah jelas banyak yang gak jelasnya. Bukan hanya Megaproyek Campaka, tapi mungkin masih banyak lagi kebijakan lainnya yang tak jelas aturannya,“ ucapnya.

Diberitakan sebelumnya,

Upaya Pemerintah Kabupaten Cianjur meloloskan rancangan perubahan Perda Nomor 17 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), bakal mendapat batu sandungan.‎

Ya, hal itu menyusul sorotan tajam dari sejumlah kalangan terhadap rancangan perubahan tersebut. Pasalnya, selain mencermati dan mengkajinya, kini publik juga membaca strategi pihak pemerintah yang berusaha keras ingin meloloskan rancangan perubahan RTRW itu.

Ketua Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Cianjur, Rudi Agan mengungkapkan,‎ hasil pantauan dan fakta di lapangan, upaya keras Pemkab Cianjur untuk meloloskan rancangan perubahan RTRW yang dibuat pihak konsultan itu terlihat sangat jelas pada saat konsultasi publik digelar Bappeda beberapa waktu lalu.

Dimana, sambung dia, para pihak yang menghadiri acara yang digagas Bappeda itu lebih didominasi kalangan ASN di lingkungan Pemkab Cianjur ketimbang masyarakat atau lembaga pemerhati.

“Saya mengira ini ada upaya pengondisian. Soalnya, masyarakat yang hadir pada sesi uji publik tersebut sangat sedikit. Begitu juga para pemerhati yang kerap bernada kritis terhadap pemerintah,”ujar Rudi kepada Berita Cianjur, Minggu (22/7/2018).

Rudi menyarankan, seharusnya konsultasi publik seperti itu bisa merangkul berbagai elemen masyarakat. Artinya Bappeda selaku penggagas acara, tidak hanya mengundang elemen yang hanya pro terhadap pemerintah.

“RTRW ini sangat krusial sekali buat Cianjur ke depan. Jika sudah disetujui dan diundangkan, sekecil apapun celah pada pasal yang tercantum di sana akan berdampak sangat besar terhadap masyarakat Cianjur,”ucapnya.

Menurutnya, sebaiknya konsultasi publik rancangan perubahan RTRW itu dilakukan secara terbuka sehingga hasilnya akan sangat berkualitas. Karena benar-benar akan diuji oleh semua pihak.

“Bewarakan agenda acaranya ke ruang publik, ajak akademisi tingkat lokal untuk hadir juga. Ini sebagai upaya mencerdaskan anak bangsa juga kan. Jangan sebaliknya, semua dibuat bungkam agar searah satu visi, kalau itu dilakukan sama saja pemerintah melakukan pembodohan terhadap masyarakatnya,” terangnya.

Sementara itu, rancangan perubahan Perda No 17 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Cianjur 2011-2013, khususnya peruntukkan kawasan industri besar juga mendapat sorotan tajam publik Cianjur.

Disebutkan pada rancangan perubahan pasal 39 ayat 2 pada perda tersebut, kawasan peruntukkan industri besar menjadi 4 kecamatan, antara lain Kecamatan Sukaluyu, Ciranjang, Mande dan Cikalongkulon.

Padahal, pada uji publik yang digelar di kantor Bappeda Kabupaten Cianjur, Senin (16/72018) lalu, pihak konsultan menjelaskan tidak diperkenankan kembali adanya pembangunan industri baru berskala besar di Kecamatan Ciranjang dan Sukaluyu.

Praktisi Hukum asal Bojongpicung, Danginpuri SH menilai, kalimat pada rancangan perubahan Perda No 17 Tahun 2012 tentang RTRW Cianjur, pasal 39 ayat 2 cenderung tidak tegas dan rancu.

“Seharusnya tegaskan langsung dalam perubahannya, jika perlu menambahkan poin baru yang menjelaskan pengecualian untuk industri besar yang telah dibangun sebelum ada perubahan rancangan perda RTRW tersebut,” jelas Danginpuri kepada Berita Cianjur, Kamis (19/7/2018).

Menurut pria yang kerap disapa Bang Wiro ini, jika rancangan perubahan tetap dipaksakan, hal itu bisa menjadi celah untuk dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang mencari keuntungan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelaahan kalimat pada pasal tersebut.

“Ini kan membuat produk hukum, jadi jangan main-main. Sebaiknya dalam pembuatannya melibatkan pihak lain yang berkompeten, baik dari ahli bahasa, akademisi hukum dan lainnya yang memiliki sertifikasi yang diakui negara dan memiliki akreditasi yang teruji. Jika perlu menggandeng universitas ternama dalam penyusunannya,” tegasnya.

Sorotan lain juga diungkapkan Ketua Asosiasi Perjuangan Buruh Tani Cianjur (APBTC), Hendra Malik. Bahkan pentolan aktivis buruh tani itu menduga rancangan perubahan perda RTRW sarat kepentingan.

“Tidak menutup kemungkinan pasal itu diduga titipan oknum yang ingin meraup keuntungan,” ucapnya.

Hendra membeberkan di Desa Cibiuk Kecamatan Ciranjang sudah terjadi pembebasan lahan sawah produktif yang mencapai 100 hektar, yang peruntukkannya untuk pembangunan pabrik skala besar.

“Melihat fakta di lapangan, hal ini ada korelasinya, kalau ini sampai terjadi lahan pertanian di Kecamatan Ciranjang bakal menjadi korban kembali,” bebernya.(kb)