Author by:
Profesor Madya Dr. Md. Asrul Nasid Masrom, Principal Researcher, Centre for Sustainable and Environmental Infrastructure Management Research (CSIEM) Faculty of Management, Technology and Business, UTHM
Profesor Madya Ts Dr. Goh Kai Chen, Principal Researcher, Centre for Sustainable and Environmental Infrastructure Management Research (CSIEM), Faculty of Management, Technology and Business, UTHM
Dr. Ir. Uus Mohammad Darul Fadli, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Buana Perjuangan Karawang
TVBERITA.CO.ID – Pada tahun 2025, industri konstruksi global akan semakin mengadopsi teknologi hijau, memperkenalkan peraturan yang lebih ketat, dan mengembangkan solusi inovatif untuk mengurangi Carbon Footprint (jejak karbon).
Dengan kemajuan kecerdasan buatan (AI), big data, dan otomatisasi yang semakin mendapat perhatian, penilaian karbon dipandang berpotensi menjadi lebih tepat dan efektif.
Negara-negara maju juga diharapkan dapat meningkatkan komitmen mereka terhadap keberlanjutan dengan menetapkan target karbon yang lebih terarah dan memperluas insentif keuangan untuk proyek-proyek ramah lingkungan pada tahun 2025. Bagaimana dengan upaya yang dilakukan di Malaysia?
Yang jelas adalah bahwa industri konstruksi adalah kontributor utama emisi karbon global, di mana ia menyumbang hampir 39% dari emisi karbon dioksida terkait energi di seluruh dunia. Proyek konstruksi skala besar, seperti pembangunan infrastruktur, kompleks komersial, dan kotapraja perumahan, telah memperburuk beban lingkungan karena konsumsi material yang tinggi, proses intensif energi, dan produksi limbah bahan bangunan yang tidak terkendali.
Baca juga: Gangguan Ormas di Kawasan Industri Bikin Investor Boncos, Wamen Investasi: Harus Kita Hilangkan
Oleh karena itu, penilaian jejak karbon dalam proyek-proyek ini telah menjadi alat penting dalam memitigasi perubahan iklim, mempromosikan pembangunan berkelanjutan, dan mematuhi standar lingkungan internasional.
Penilaian jejak karbon dalam proyek konstruksi juga melibatkan pengukuran emisi gas rumah kaca (GRK) sepanjang siklus hidup bangunan atau infrastruktur. Beberapa metodologi telah diterapkan secara global untuk mengukur dan mengurangi emisi karbon secara efektif.
Berbagai upaya aktif dilakukan melalui studi penelitian oleh universitas lokal dan internasional seperti UTM, UTHM, The Bartlett School of Sustainable Construction, University College London (UCL), MIT’s Concrete Sustainability Hub, Massachusetts Institute of Technology (MIT), USA, dan The Sustainable and Healthy Environments (SHE) Lab, University of Melbourne.
Life Cycle Assessment (LCA) atau Penilaian Siklus Hidup adalah metodologi utama dalam menilai dampak lingkungan dari tahapan ekstraksi bahan baku, manufaktur, transportasi, konstruksi, operasi, dan fase pembongkaran. Standar ISO 14040 dan ISO 14044 memberikan pedoman untuk penerapan LCA.
Baca juga: HIPMI Unsika Resmi Dilantik, Diharap Lahirkan Pengusaha Hebat dari Kalangan Mahasiswa
Selain itu, alat pengukuran karbon seperti Building Research Environmental Assessment Method (BREEAM) atau Metode Penilaian Lingkungan Penelitian Bangunan, Greenhouse Gas Protocol (GRK) atau Protokol Gas Rumah Kaca, dan Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) atau Kepemimpinan dalam Desain Energi dan Lingkungan banyak digunakan dalam menilai jejak karbon terutama di industri konstruksi.
Analisis penggunaan material dan energi juga merupakan aspek penting, mengidentifikasi bahan yang mengonsumsi energi tinggi seperti semen, baja, dan aluminium yang berkontribusi secara signifikan terhadap emisi karbon.
Selain itu, integrasi teknologi digital seperti AI, IoT, Machine Learning, Cloud Computing, Digital Twin, dan Building Information Modelling (BIM) membantu dalam pemodelan perkiraan emisi karbon, memungkinkan para insinyur untuk merancang alternatif rendah karbon sebelum konstruksi dimulai.
Jejak Karbon dalam Pengadaan Konstruksi
Penerapan penilaian jejak karbon dalam proses pengadaan konstruksi telah menjadi pendekatan mendasar dalam mencapai tujuan keberlanjutan. Pemerintah dan pengembang swasta mengintegrasikan kebutuhan pengurangan karbon dalam kebijakan pengadaan dalam upaya mempromosikan praktik konstruksi yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Salah satu pendekatan utamanya adalah penerapan Kebijakan Pengadaan Hijau, di mana kontraktor dan pemasok diharuskan memenuhi standar keberlanjutan yang telah ditetapkan sebelumnya. Proyek sektor publik, khususnya di Uni Eropa, Inggris, dan Australia, telah menerapkan kriteria tender berbasis karbon, di mana penawar harus menunjukkan upaya untuk mengurangi karbon dalam bahan dan proses konstruksi.
Tidak hanya itu, valuasi karbon seumur hidup semakin menjadi tolok ukur dalam keputusan pengadaan. Metode ini menilai emisi karbon dari tahap sumber material hingga fase akhir masa pakai struktur, memungkinkan pemilihan bahan dan teknik konstruksi yang lebih cerdas.
Di negara-negara berkembang seperti Malaysia dan Cina, kerangka kerja pengadaan berkelanjutan sedang diperkuat. Dewan Pengembangan Industri Konstruksi Malaysia (CIDB) mempromosikan pengadaan berkelanjutan melalui Indeks Bangunan Hijau (GBI) dan alat penilaian INFRASTAR Berkelanjutan.
Baca juga: Opini: Melampaui Stereotip Peran Apoteker dalam Layanan Pemerintahan
Demikian pula, pemerintah Tiongkok mengamanatkan penggunaan bahan rendah karbon dalam proyek infrastruktur publik untuk memastikan bahwa keberlanjutan tertanam dalam kontrak pengadaan.
Selain itu, program keterlibatan pemasok telah diterapkan oleh Pemerintah Daerah untuk memobilisasi rantai pasokan rendah karbon. Tidak hanya itu, perusahaan konstruksi dan pemasok bahan bangunan bekerja bahu-membahu untuk mendapatkan bahan berkelanjutan, mempromosikan prinsip ekonomi sirkular, dan mengintegrasikan energi terbarukan di lokasi konstruksi.
Tantangan dalam Penilaian Jejak Karbon
Meskipun CFA memainkan peran penting, CFA masih menghadapi berbagai tantangan dalam proyek konstruksi skala besar. Salah satu tantangan utama adalah ketersediaan dan keakuratan data, karena mendapatkan data yang dapat diandalkan tentang rantai pasokan material, logistik transportasi, dan izin operasional masih sulit, terutama di negara berkembang.
Biaya implementasi yang tinggi juga menjadi penghalang. Alat dan perangkat lunak penilaian jejak karbon memerlukan investasi finansial yang signifikan, yang mungkin dianggap memberatkan oleh beberapa pengembang.
Selain itu, kesenjangan peraturan dan kurangnya standar membuat implementasi CFA menjadi sulit, karena banyak negara tidak memiliki kebijakan wajib yang mengatur penilaian jejak karbon, yang mengakibatkan praktik yang tidak konsisten di industri.
Baca juga: Revolusi Teknologi Imersif di Industri Konstruksi Malaysia
Masalah penting lainnya adalah kesadaran dan kepatuhan pemangku kepentingan. Mendorong kontraktor, pemasok, dan pengembang untuk mengadopsi praktik rendah karbon tetap menjadi tantangan karena masalah persaingan ekonomi dan kurangnya insentif keuangan untuk konstruksi berkelanjutan.
Kesimpulannya, menilai jejak karbon dari proyek konstruksi skala besar adalah upaya signifikan untuk mengurangi dampak lingkungan yang terus meningkat. Mengintegrasikan pertimbangan jejak karbon dalam proses pengadaan penting dalam mendorong keberlanjutan di seluruh rantai pasokan.
CFA perlu menjadi standar industri dalam membantu mencapai masa depan rendah karbon serta mengatasi tantangan yang terkait dengan akurasi data, biaya, dan kerangka peraturan.
Kombinasi kecerdasan manusia dan didukung oleh kecerdasan buatan dipandang sebagai tindakan cerdas dalam upaya memitigasi tantangan jejak karbon ini sehingga dapat diimplementasikan secara komprehensif dan konsisten pada tahun 2025. (*)