
KARAWANG – Pasanggiri Jaipong Ringkang Gumilang 2025 yang berlangsung di Aula Husni Hamid pada Sabtu-Minggu (5–6 Juli 2025) menjadi ajang ekspresi seni masyarakat Karawang, khususnya dalam melestarikan budaya Sunda melalui seni tari.
Kegiatan ini diikuti oleh puluhan peserta dari berbagai sanggar dan perorangan, di antaranya Sanggar Putri Bungsu Cikampek, Sanggar Tari Damarwulan, serta perwakilan dari berbagai kota/kabupaten di Jawa Barat.
Kehadiran mereka menjadi bukti bahwa tari jaipong tetap menjadi ikon budaya Sunda yang hidup dan terus berkembang di tengah masyarakat.
Baca juga: Sejarah, Unsika Siap Jadi Kampus Pertama di Karawang yang Punya Akreditasi Internasional
“Konsep acaranya selain merayakan ulang tahun sanggar, juga diisi dengan lomba tari yang diikuti oleh 110 peserta dari lima kategori. Mulai dari kategori tunggal untuk siswa kelas 1–3 SD, kelas 4–6 SD, hingga kategori umum yang diikuti oleh pelajar SMP, SMA, dan masyarakat umum. Semua memperebutkan piala dan grand prize berupa sepeda listrik,” ujar Eka, Ketua Sanggar Ringkang Gumilang.
Selain kategori tunggal, ada juga kategori rampak (kelompok) yang diikuti peserta dari Karawang dan sejumlah kota/kabupaten di Jawa Barat.
Berikut sebagian hasil kejuaraan:
Kategori Tunggal Kelas 1–3
Juara Harapan 1: Natali Aquina
Juara 1: Ira Rizqia
Kategori Tunggal Kelas 4–6
Juara Harapan 1: Niqaila
Juara 1: Ambar Hapsari
Kategori Umum
Juara Harapan 1: Stella Aprilia
Juara 1: Qaila Cantika
Kategori Rampak SD
Juara 1: Nawangwulan
Juara Harapan 1: Ringkang Srikandi
Kategori Rampak Umum
Juara 1: Sanggar Damarwulan
Juara Harapan 1: Restu Kencana
Juara Umum Seluruh Kategori: Ira Rizqia
Eka menambahkan bahwa acara ini sebenarnya direncanakan pada awal Juni (tanggal 6–7), namun karena tempat digunakan pihak lain, pelaksanaannya mundur satu bulan.
Baca juga: Aktivis Soroti Ketimpangan Program KB: Tubuh Perempuan Bukan Objek Kontrol Negara
“Persiapannya sendiri memakan waktu hingga lima bulan, karena kami menargetkan lebih dari 100 peserta. Proses penjaringan peserta cukup panjang, dan kami juga harus mengurus perizinan ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan,” ungkapnya.
Ia menutup dengan harapan besar agar kegiatan ini terus berlanjut dan menjadi ajang untuk membawa seni tari khas Karawang lebih dikenal, bahkan hingga ke tingkat internasional.
“Hal-hal yang dulu dirasakan almarhum ayah saya, seperti kelas yang hanya diisi 3–5 orang, kini saya rasakan sendiri. Ternyata tidak mudah. Tapi saya merasa punya misi budaya yang harus dijaga, apalagi Karawang dikenal luas dengan ‘Goyang Karawang’. Harapannya semoga kegiatan ini semakin sukses dan bisa mendunia,” tutup Eka. (*)












