Beranda Headline Penyelamat Nyawa di Pesisir Karawang: Kisah Yati Perangi TBC di Cibuaya

Penyelamat Nyawa di Pesisir Karawang: Kisah Yati Perangi TBC di Cibuaya

Penyintas tbc di cibuaya karawang
Yanti menjelajah medan jalan yang rusak.

KARAWANG – Dari pusat Karawang, butuh waktu lebih dari satu jam untuk mencapai rumah Yati (41), seorang kader kesehatan yang bertugas di wilayah pesisir utara Karawang. Tepatnya di Kecamatan Cibuaya, kawasan dengan 11 desa yang sebagian besar dikelilingi tambak, rawa, dan garis pantai yang kian tergerus abrasi.

Rumah Yati terletak di Desa Jayamulya. Tampak bersih dan rapi, berdiri sederhana di antara deretan rumah warga lainnya. Di depan teras tergantung helm dan jas hujan, perlengkapan wajib yang menemaninya menembus kampung-kampung pesisir.

Ia menyambut dengan ramah, lalu mempersilakan duduk. “Silakan, maaf rumahnya sederhana,” katanya sambil tersenyum hangat seakan memberi sinyal bahwa cerita perjuangannya bisa dibagikan kepada siapa saja yang bersedia mendengar.

Baca juga: Reses DPRD Karawang, Dedi Indra Soroti soal Sampah hingga Jalan Rusak

Sejak 2018, Yati menjadi Kader Tuberkulosis (TBC) di bawah Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) Jawa Barat hingga 2020, lalu bergabung dengan Stop TB Partnership Indonesia (STPI) pada 2021 hingga kini. Namun kiprahnya jauh melampaui itu, sejak 2000 ia sudah aktif sebagai kader posyandu, keluarga berencana, kusta, hingga kesehatan jiwa. Semua dijalani tanpa pamrih, berpegang pada satu keyakinan: keberadaan saya harus berguna bagi banyak orang.

Pasien Pertama: Tokoh Terpandang yang Mengira TBC Guna-Guna

Oktober 2018 menjadi bulan yang tak terlupakan bagi Yati. Saat itu ia baru saja menyelesaikan pelatihan tiga hari sebagai kader TBC (dua hari teori, satu hari praktik lapangan). Ia masih ingat betul semangatnya kala itu, membawa buku catatan kecil dan pot dahak di dalam tas selempang, siap mencari “terduga TBC” di wilayahnya.

Namun siapa sangka, pasien pertamanya justru seorang tokoh terpandang dari desa tetangganya. Atas permintaan Yati, nama pasien disamarkan. Dalam tulisan ini, ia disebut sebagai “bapak”.

“Waktu itu saya ketemu, beliau tiba-tiba batuk-batuk terus,” kenang Yati. Suaranya menurun sedikit ketika bercerita. “Beliau ngeluh badannya panas tiap malam, tapi siang malah dingin. Katanya, ini bukan sakit biasa, mungkin karena kena guna-guna.”

Baca juga: Buntut Makanan Berbelatung, Peradi Karawang Desak BGN Tutup Dapur MBG Cibungur Indah

Yati tersenyum getir saat mengingat momen itu. Ia tahu benar, di banyak kampung pesisir, penyakit seperti TBC masih kerap disalahartikan. Apalagi kalau yang sakit orang penting, kepercayaannya pada hal mistis kadang lebih besar daripada medis.

“Tentu saya bingung. Mau ngomong terus terang takut menyinggung. Tapi kalau diam saja, kasian, bisa makin parah,” tuturnya.

Sebagai kader baru, Yati belum punya banyak pengalaman membujuk orang dengan status sosial tinggi. Tapi keberanian kecilnya tumbuh dari rasa tanggung jawab.

Ia mencoba pendekatan halus. “Pelan-pelan saya bilang, ‘Pak, batuknya udah lama ya? Takutnya flek, bukan guna-guna.’ Tapi beliau langsung bilang, ‘Ah, saya udah berobat ke mana-mana, gak sembuh juga.’”

Saat tawaran untuk tes dahak disampaikan, bapak menolak mentah-mentah. “Beliau bilang malu, nanti warga tahu. Saya paham, tapi saya gak nyerah,” kata Yati.

Beberapa hari kemudian, ia kembali datang dengan cara lebih persuasif. “Saya bilang gini, ‘Bapak gak usah ke puskesmas. Saya yang ambil dahaknya, nanti saya yang antar. Nama bapak gak akan saya sebut.’”

Butuh waktu tiga hari sampai bapak mau memberikan sampelnya. Yati menunggu dengan sabar, bahkan menelpon berkali-kali untuk memastikan.

Baca juga: Saluran Irigasi di Karawang Macet, Legislator Ini Turun Langsung Bersih-bersih

Ketika hasil pemeriksaan keluar, dugaan Yati benar — positif TBC, dengan jumlah kuman yang cukup banyak. Ia kembali menemui bapak, kali ini dengan hati-hati membawa hasil pemeriksaan di amplop tertutup.

“Saya tunjukin hasilnya pelan-pelan. Beliau kaget, diam lama. Terus bilang, ‘Jadi saya kena penyakit ini?’ Saya jawab, iya, tapi bisa sembuh asal disiplin minum obat,” tutur Yati.

Namun perjuangan belum selesai. Bapak enggan datang ke puskesmas karena takut diketahui warga. Maka Yati mengambil jalan tengah: setiap minggu ia sendiri yang datang ke rumah bapak, mengantar obat dan memantau kondisinya.

“Awalnya susah sekali, tapi begitu sepuluh hari pertama badan beliau mulai enakan, baru percaya. Dari situ beliau jadi lebih patuh,” katanya.

Enam bulan berlalu. Ketika hasil tes menunjukkan negatif TBC, bapak menatap Yati seperti ingin mengucapkan terimakasih.

“Beliau bilang, ‘Kalau gak tes dahak, mungkin saya masih percaya ini guna-guna.’ Saya cuma senyum. Bagi saya, itu kebahagiaan paling besar,” ujar Yati, suaranya bergetar menahan haru.

Kisah itu begitu membekas hingga kini. Saat ada lomba storytelling kader kesehatan, Yati membawakannya di depan banyak orang, kisah sederhana tentang keberanian seorang kader muda yang menghadapi rasa takut dan perbedaan status sosial.

“Alhamdulillah, waktu itu saya juara satu,” ujarnya sambil tertawa kecil. “Tapi yang paling penting, bapaknya sudah sehat sekarang.”

Baca juga: Baru Mau Investasi? Baca Dulu Panduan Lengkap Ini!

Menembus Jalur Ekstrem di Kampung Pisangan
Kisah penyintas tbc di cibuaya karawang
Yati (41), seorang kader kesehatan yang bertugas di wilayah pesisir utara Karawang.

Rabu siang yang terik (29/10), Yati bersiap menempuh perjalanan ke Kampung Pisangan, Desa Cemarajaya 3, salah satu wilayah paling terpencil di Cibuaya. Ia mengajak saya ikut, ingin memperkenalkan dua penyintas TBC yang pernah ia dampingi.

Motor Yati melaju pelan, meninggalkan jalanan aspal yang perlahan berubah menjadi tanah berbatu. Bau asin laut mulai tercium. Tak lama, suara ombak menggema, tanda kami telah sampai di tepian pantai utara.

“Mobil lewat sini gak bisa. Pake motor aja, kalau hujan, jalan ini makin susah dilewati. Rusak, dan di sana berlumpur semua,” katanya sambil tetap fokus mengendalikan motor.

Benar saja, jalur yang kami lalui lebih mirip kubangan lumpur daripada jalan raya. Rumah-rumah di sepanjang pantai banyak yang ambruk, sebagian warga bertahan dengan menyusun karung pasir dan ban bekas untuk menahan abrasi.

Belum lagi, tak ada lampu penerangan di sepanjang jalan dari Cibuaya hingga ke Cemarajaya, sehingga jalur tersebut makin sulit dilintasi ketika malam hari.

“Ini baru Pisangan, ibu pernah punya pasien di wilayah Dobolan yang jalurnya lebih sulit diakses dan desanya terisolir,” katanya.

Yati bilang, “Di situ pernah ada pasien TBC meninggal, digotongnya pakai tandu jalan kaki, gak bisa pakai ambulans,” ungkap dia sambil turun dan menghentikan motor di depan sebuah warung — rumah penyintas TBC yang dituju Yati.

Sepasang Penyintas yang Bertahan dari Penyakit dan Ombak Ganas
Kisah penyintas tbc di karawang
Sepasang penyintas TBC di Cibuaya, Karawang.

Setelah menempuh 20 menit perjalanan, kami tiba di rumah Dawen (38) dan Kartono (47). Keduanya menyambut Yati dengan wajah sumringah. Mereka sudah lama sembuh dari TBC, namun Yati tetap datang untuk memantau kesehatan dan memastikan tidak ada kekambuhan.

Yati menarik napas sejenak sebelum memperkenalkan saya pada Dawen dan Kartono, sepasang suami istri yang bersedia berbagi kisah perjuangan mereka melawan TBC. Mereka bukan hanya berjuang melawan penyakit, tapi juga hidup di tengah ancaman abrasi; ombak ganas yang tak peduli kondisi manusia.

“Saya kena TBC duluan dibanding istri, itu waktu musim COVID-19, tahun 2021,” ucap Kartono membuka cerita. Saat itu, ia bekerja sebagai terapis pijat. Meski bukan perokok, pekerjaan memaksa ia berinteraksi dengan banyak orang. Tak lama, demam dan batuk mulai menyerang. Awalnya, ia mengira itu gejala COVID, tapi ternyata bukan.

“Saya ke puskesmas, dikasih tahu kena kuman, harus pengobatan 8 bulan,” lanjutnya.

Kartono sempat bingung menghadapi kondisi ini, tapi Yati setia mendampinginya, menjelaskan perlahan bahwa ia terkena TBC tipe Sensitive Obat (SO) disertai Diabetes Miletus (DM) sehingga pengobatan yang harusnya ditempuh 6 bulan, harus ditambah 2 bulan. Tentu baginya pengobatan panjang bukan hal mudah.

Baca juga: Seleksi Magang ke Jepang Tahap Dua Dibuka Lagi, Targetkan 200 Warga Karawang

“Sempat frustasi, gak enak ngapa-ngapain, susah tidur, pikiran kemana-mana. Berat badan turun drastis, dari 70 kg jadi 40 kg. Tapi sekarang udah sembuh, berat badan pulih, dan saya lebih hati-hati soal kesehatan,” ungkapnya dengan senyum tipis.

Namun beruntung, lanjutnya, selama masa pengobatan tidak terjadi abrasi, sehingga ia bisa fokus memulihkan diri. “Tapi ya tetap saja, di sini sering kena ombak, airnya suka masuk ke dalam rumah, apalagi rumah saya pinggir banget deket laut,” katanya.

Singkat cerita, tiga tahun kemudian Kartono melihat gejala serupa pada istrinya. Tanpa berpikir lama, ia segera menghubungi Yati agar Dawen diperiksa.

“Waktu itu tahun 2024, tetangga lansia sakit, saya bantu urus. Kayaknya ketularan, sempat dirawat, darahnya 80, sampai ngedrop banget. Tapi alhamdulillah, pengobatan 6 bulan selesai,” tutur Dawen.

Yati menjelaskan bahwa Dawen juga rentan terkena TBC karena memiliki penyakit penyerta DM seperti Kartono. “Ibu juga punya DM, jadi ketularannya gampang,” sambung Yati.

Kini, keduanya telah kembali sehat. Lebih dari itu, mereka aktif membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada warga sekitar. Dawen dan Kartono semacam jadi duta TBC di kampung kecil yang jauh dari perkotaan.

“Karena sudah pernah ngalami, tiap ada yang batuk, saya sarankan periksa dahak. Kadang ada yang datang nanya-nanya,” tukas Kartono.

Baca juga: Sejoli Pembuang Bayi dengan Mulut Dilakban di Karawang Terancam 15 Tahun Penjara

Mereka yang Tak Terlihat, Tapi Menyembuhkan
Penyintas tbc di cibuaya karawang
Yati menjelajah medan jalan yang rusak.

Wilayah kerja Yati memang tak mudah dijangkau. Namun justru di sanalah, penyakit seperti TBC, kusta, dan stunting menemukan ruang untuk bertahan. Minimnya fasilitas kesehatan, rendahnya pengetahuan masyarakat, serta jarak yang jauh dari puskesmas membuat kader seperti Yati menjadi ujung tombak sistem kesehatan di akar rumput.

Di tengah lumpur, ombak, dan jarak yang tak ramah, Yati terus menjemput harapan, meski materi yang diterima tak seberapa. Tak ada gaji tetap, Yati hanya bergantung pada insentif yang nominalnya berkisar dari Rp50.000 – Rp100.000 disesuaikan dengan kinerja dan laporan Yati di lapangan. Ia tak menyebutkan jumlah (pendapatan) pasti, namun dengan mantap ia mengatakan:

“Saya cuma pengen, orang-orang di sini sehat. Sebelum jadi kader TBC saya udah jadi kader posyandu dari tahun 2000, jumlah orang yang saya dampingi gak ingat berapa banyak. Tapi yang pasti, kesembuhan pasien adalah hadiah terbesar bagi saya,” katanya pelan.

Senyum Yati sore itu menyiratkan sesuatu yang sederhana tapi langka, yakni; semangat pelayanan yang tak tercatat dalam laporan pemerintah, tapi nyata dirasakan oleh orang-orang yang pernah ia tolong.

Atas dedikasinya, Yati pernah menerima penghargaan dari Bupati Karawang sebagai Kader TBC SO Terbaik tahun 2024. Berkat ketulusan dan kerja kerasnya, banyak nyawa berhasil diselamatkan, meskipun wilayah tempat ia bertugas sulit dijangkau

Selain Yati, ada ratusan kader yang bekerja senyap di akar rumput. Mereka bukan tenaga medis, tapi menjadi ujung tombak dalam menemukan kasus, mendampingi pasien, hingga memberi edukasi kesehatan.

Baca juga: Buntut Makanan Berbelatung, Peradi Karawang Desak BGN Tutup Dapur MBG Cibungur Indah

Staff Program Penabulu – STPI IU Kabupaten Karawang, Suci Shofwa, menyebut sejak 2021 hingga 2025 terdapat sekitar 170 kader TBC, dengan 90 orang masih aktif.

“Tugas mereka mencakup edukasi, investigasi kontak, penemuan kasus baru, pendampingan pasien, terapi pencegahan tuberkulosis (TPT), dan pelaporan,” ujarnya.

Karawang memiliki beberapa kecamatan dengan kasus tinggi seperti Cikampek, Cibuaya, dan Tirtajaya. Di wilayah “gemuk kasus” ini, perjuangan kader menjadi lebih berat. Salah satunya saat mereka harus membujuk kontak serumah pasien untuk diperiksa ke fasilitas kesehatan.

“Sering kali alamat pasien tidak sesuai domisili, membuat kader kesulitan menemui mereka. Tapi para kader tetap berjuang dengan tulus,” kata Suci.

Di tengah keterbatasan, lanjut Suci, para kader tetap melangkah. Mereka membawa harapan, agar setiap napas Orang dengan TBC (OTBC) di Karawang bisa kembali lega.

Lonjakan Kasus TBC di Karawang:Upaya Eliminasi dan Deretan Tantangan

Kasus TBC di Kabupaten Karawang menunjukkan lonjakan tajam dalam empat tahun terakhir. Data Dinas Kesehatan setempat mencatat, sejak 2020 hingga 2024, penemuan kasus baru terus meningkat lebih dari tiga kali lipat. Tahun 2020 sebanyak 4.399 kasus, 2021 sebanyak 5.414 kasus, 2022 sebanyak 8.167 kasus, 2023 sebanyak 12.868 kasus dan 2024 sebanyak 13.733 kasus.

Baca juga: RS, Puskesmas hingga Klinik di Karawang Siapkan Layanan Khusus TBC, Warga Diminta Tak Malas Berobat

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Karawang, dr. Yayuk Sri Rahayu, MKM, menyebutkan bahwa hingga September 2025, sudah ditemukan 9.244 kasus baru.

“Belum bisa disimpulkan menurun, karena data baru mencakup Januari – September. Jika tren bulanan stabil, total tahun ini bisa mendekati 12 hingga 13 ribu kasus,” ujarnya.

Tak hanya jumlah kasus, angka kematian akibat TBC juga terus mengalami peningkatan signifikan selama empat tahun terakhir. Sebanyak 57 kasus pada 2020, 127 kasus pada 2021, 136 kasus pada 2022, 188 kasus pada 2023, dan 305 kasus pada 2024.

Sementara tahun ini, hingga September, sudah tercatat 275 kasus kematian. “Angkanya belum final, tapi tren peningkatan masih terasa,” kata Yayuk.

Dalam menjalankan upaya eliminasi TBC, Karawang menghadapi sejumlah kendala struktural dan teknis. Pergantian petugas yang kerap terjadi, keterbatasan alat seperti mikroskop dan komputer di fasilitas kesehatan, serta belum optimalnya pelatihan petugas DOTS menjadi hambatan utama.

Kendala lain datang dari sisi pendanaan dan koordinasi. Dana hibah internasional seperti USAID dan Global Fund kini berkurang, sementara pembiayaan TBC Resistan Obat (RO) dialihkan ke BPJS. Kolaborasi antara faskes pemerintah dan swasta pun dinilai belum maksimal.

Baca juga: Kisah Teguh, Pejuang Jalanan yang Menempuh Perjalanan Kulon Progo–Depok Demi Nafkah

Selain itu, stigma sosial terhadap penderita TBC, rendahnya kesadaran masyarakat akan pencegahan, serta kondisi lingkungan yang padat dan kurang bersih turut memperberat situasi.

Kendati demikian, Dinas Kesehatan Karawang terus berupaya mempertahankan layanan terbaik. Upaya dilakukan melalui penguatan program pencegahan dan pengobatan, edukasi masyarakat, pengadaan alat kesehatan, serta pemberian insentif bagi kader dan bantuan transportasi bagi pasien.

Bahkan, bagi pasien TBC Resistan Obat (TBRO), pemerintah daerah turut menyalurkan bantuan nutrisi untuk mendukung proses pemulihan.

“Program eliminasi TBC bukan sekadar soal pengobatan. Ini juga soal edukasi, kolaborasi, dan dukungan berkelanjutan dari semua pihak,” tegas Yayuk. (*)