
Jalur Niaga di Masa Lampau Karawang
Lima abad lalu, sebelum Karawang dikenal sebagai lumbung padi, wilayah ini sudah menjadi simpul penting dalam jaringan perdagangan Nusantara. Letak geografis di pesisir utara Jawa menjadikannya strategis.
Dalam artikel Arti Penting Situs-Situs Pelabuhan Kuna di Karawang, Jawa Barat sebagai Jalur Transportasi yang diterbitkan Purbawidya, peneliti Libra Hari Inagurasi mencatat bahwa pantai-pantai di Karawang, termasuk Cilamaya, dahulu memiliki peran vital.
Baca juga: Modul Terumbu Karang Buatan ke-420 di Pesisir Karawang dari PHE ONWJ
Dari arah timur, kapal-kapal dari Jepara, Tuban, dan Gresik melintas. Dari barat, lalu lintas dari Sunda Kelapa, Banten, dan Malaka berlayar melewatinya.
Arus Laut Jawa dikenal ganas, badai kerap menghantam kapal layar besar, membuat sebagian di antaranya karam. Tangkolak adalah salah satu titik yang menyimpan “kuburan kapal” itu. Temuan kayu kapal berusia abad ke-13, lampu kapal abad ke-19, serta fragmen keramik menguatkan dugaan tersebut.
Pelabuhan kuno di Karawang berfungsi ganda. Ia bukan hanya tempat bertukar barang, tetapi juga pintu masuk budaya dan agama. Dari sinilah pengaruh Islam menyebar ke pedalaman Jawa Barat, jauh sebelum pusat-pusat Islam berdiri kokoh di Cirebon atau Banten.
Ketika kapal-kapal milik Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC) menguasai jalur perdagangan pada abad ke-17, Karawang tetap memainkan peran. Kapal-kapal dagang dan kapal patroli kerap melintasi laut Tangkolak. Jejak itu tersimpan di dasar laut: bangkai kapal, pecahan guci, hingga koin perunggu.
Hari ini, jejak tersebut tidak hanya menjadi bahan kajian arkeologi. Ia juga membentuk identitas Tangkolak sebagai “museum bawah laut”—tempat di mana sejarah maritim bisa dilihat, meski dengan mata selam.
Masuk dekade 1980–1990-an, laut Tangkolak dikenal bukan karena sejarah, melainkan karena rumor “kuburan kapal” berisi harta karun.








