Beranda Headline Mengulas Sejarah 5 Generasi Wali Songo dan Pendekatan Dakwah di Tanah Jawa

Mengulas Sejarah 5 Generasi Wali Songo dan Pendekatan Dakwah di Tanah Jawa

Sejarah wali songo
Foto/ilustrasi.

TVBERITA.CO.ID – Masyarakat secara umum mengenal sejarah penyebar agama Islam terkemuka di tanah Jawa dengan sebutan wali songo.

Banyak yang belum mengetahui bahwa walisongo memiliki 5 periode dengan anggota berbeda setiap periodenya.

Sembilan wali yang kita kenal adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunungjati.

Baca juga: Sering Disepelekan, Ketahui Penyebab, Gejala dan Tips Mencegah Penyakit ISPA

Melansir dari buku Kisah Perjuangan Walisongo karya MB. Rahimsyah AR disebutkan, Walisongo sebetulnya adalah nama suatu dewan mubaligh.

Apabila salah satu dewan pergi (meninggal dunia) maka akan segera digantikan oleh wali lainnya.

Dalam kitab Kanzul Ulul Al Maghrobi Ibnul Bathuhtah juga disebutkan, Walisongo melakukan sidang 3 kali; 1404 M tentang 9 wali, 1436 M masuk 3 wali mengganti yang wafat dan 1463 M masuk 4 wali mengganti yang wafat dan pergi.

Baca juga: Mercure Jakarta Bawa Tamu Jelajahi Kekayaan Makanan Khas Nusantara

Awal mulanya, Sultan Muhammad 1 Kerajaan Turki memerintah penebar agama Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah untuk pergi ke tanah jawa karena di Jawa agama Hindu masih mendominasi di bawah naungan Majapahit dan Padjadjaran.

Pada tahun 808 Hijriah para ulama itu berangkat dan mulailah masuk periode pertama penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

Walisongo Periode Pertama

1. Maulana Malik Ibrahim (Turki).
2. Maulana Ishak (Samarqand).
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubra (Mesir).
4. Maula Muhammad Almahrobi (Maroko).
5. Maula Malik Isro (Turki).
6. Maulana Muhamad Ali Akbar (Persia).
7. Maulana Hasanudin (Palestina).
8. Maulana Alayuddin (Palestina).
9. Syekh Subakir (Persia).

Walisongo Periode Kedua

1. Raden Ahmad Ali Rahmatullah (Cempa, Muanghtai Selatan).
2. Sayyid Ja’far Shodiq (Palestina).
3. Syarif Hidayatullah (Palestina).

Walisongo Periode Ketiga

1. Raden Paku (Blambangan, Jatim).
2. Sunan Kalijaga (Tuban, Jatim).
3. Sunan Bonang (Ampel, Surabaya).

Walisongo Periode Keempat

1. Raden Hasan atau Raden Fatah (Demak).
2. Sunan Gunungjati (Cirebon).

Walisongo Periode Kelima

1. Raden Umar Said atau Sunan Muria (Putra Sunan Kalijaga).
2. Syekh Siti Jenar (Lemah Abang).

Baca juga: Ogah Didikte Lagi, Menteri Investasi Sebut IMF bak Lintah Darat

Kehadiran Wali Songo akhir dari era Hindu-Budha

Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo (2017), mengutip Simuh (1986), menjelaskan bahwa sembilan dalam wali songo diambil dari kosmologi orang Jawa yang kala itu menganut agama Hindu-Budha. Masyarakat Jawa kala itu meyakini bahwa alam semesta diatur dan dilindungi oleh dewa-dewa penjaga mata angin.

Ada delapan dewa penguasa mata angin, dan satu dewa penguasa arah pusat, yakni Wishnu (Utara), Iswara (Timur Laut), Sambhu (Timur), Maheswara (Tenggara), Brahma (Selatan), Rudra (Barat Daya), Mahadewa (Barat), Changkara (Barat Laut), dan satu penjaga titik pusat, yaitu Syiwa. Agus menyebut konsep kosmologi dalam Hindu itu yang kemudian diadopsi menjadi wali songo.

Baca juga: Kisah Spiritual dari Sayap Burung yang Patah

Sementara Agus Hermawan dan Roko Patria Jati dalam jurnal ‘Studi Islam Nusantara’ (2019), menyebut bahwa era wali songo menandai akhir dari era Hindu-Budha di Nusantara. Wali songo adalah simbol penyebaran Islam dan pendirian kerajaan Islam di Jawa. Mulai Kesultanan Cirebon (1430 – 1666), Kesultanan Demak (1500 – 1550), Kesultanan Banten (1524 – 1813 ), atau Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta.

Dakwah dilakukan dengan damai. Wali songo melakukan apa yang disebut akulturasi budaya. Ada juga yang menyebut unsur sufistik disampaikan wali songo. Hal itu ditunjukkan dengan sastra-sastra sufistik yang ditulis dalam bentuk tembang, kidung, syair, dan hikayat seperti Serat Sastra Gending karya Sultan Agung, Syair Perahu karya Hamzah Fansuri, Serat Centhini, Suluk, Suksma Lelana, dan sebagainya.

Selain itu, wali songo juga menggunakan metode dakwah lewat asimilasi pendidikan. Dilakukan dengan mendirikan pendidikan model dukuh, asrama, atau padepokan pesantren. (*)