Beranda Headline Jaksa Terapkan Restorative Justice, Kasus Penganiayaan Keluarga Tak Mampu Berakhir Damai

Jaksa Terapkan Restorative Justice, Kasus Penganiayaan Keluarga Tak Mampu Berakhir Damai

Dia menuturkan instansinya upayakan restorative justice karena berbagai pertimbangan.

Permohonan perdamaian tersebut telah disetujui oleh pimpinan Jampidum melalui ekspose. Ia menyampaikan pendekatan restorative justice sesuai dengan peraturan jaksa (Perja) nomor 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan karena telah memenuhi tiga persyaratan yaitu tersangka pertama kali melakukan tindak pidana, tuntutan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun, dan nilai kerugiannya tidak lebih dari Rp2,5 juta.

“Jadi ini pertama kalinya penerapan RJ dilakukan, tentunya ada persyaratannya yakni tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun dan yang paling utama adanya perdamaian antara korban dan terdakwa, karena Restorative Justice itu pemulihan hukum di mana terpulihkan hak tersangka dan hak si korban itu yang utama dan kemudian bukan residivis,” kata Martha.

Setelah itu, lanjut Martha, kejaksaan ingin mengembalikan keadaan seperti semula. Mereka pun melibatkan pelaku, korban, dan pihak-pihak terkait, seperti petinggi seperti Kades dan Kadus.

“Tujuannya menyadarkan mereka bahwa tidak semua perkara harus bermuara ke meja hijau,” katanya.

Dia berharap perkara-perkara ringan dan memenuhi persyaratan bisa diupayakan untuk diterapkan restorative justice.

“Selayaknya memang perkara tertentu tidak perlu sampai ke meja hijau atau ke penjara. Dengan mempersembahkan restorative justice ini, maka kasusnya dihentikan,” katanya.

Tersangka Riwalin Fajri mengaku senang kasus yang menjeratnya selama 2 bulan terakhir ini berakhir dengan damai. Dengan mendapatkan restorative justice tersebut, dirinya bisa kembali berkumpul bersama keluarga dan bekerja untuk menafkahi istri dan anaknya yang masih bayi.

“Alhamdulillah, saya terima kasih kepada kejaksaan dan korban yang telah menyelesaikan kasus ini dengan damai,” pungkasnya. (kii)