Beranda Berita Baik Obituarium Sanggar Teater Lumbung: Perjamuan Buka Puasa Terakhir

Obituarium Sanggar Teater Lumbung: Perjamuan Buka Puasa Terakhir

Oleh Faizol Yuhri, Pimpinan Redaksi Tvberita.co.id

 

12 REMAJA beralas matras merah duduk melingkari karpet merah. Berdiri tenang aneka kudapan di tengah mereka. Gorengan, saus kacang, dan sirup warna hijau. Hendra WP duduk dialasi karpet warna hijau. Mereka sedang menyambut perjamuan terakhir. Namun, bedanya dengan Yesus dan ke-12 muridnya yang melakukan perjamuan terakhir di hadapan meja panjang dengan anggur dan roti, Hendra WP dan ke-12 muridnya melakukan buka puasa terakhir di hadapan kekuasaan yang diwakili kendaraan berat.

Apa dan siapa yang mengundang penguasa pada perjamuan terakhir mereka adalah soal lain. Perkara-perkara tersebut sulit dicerna remaja seumuran mereka. Mereka lebih mudah mencerna bagaimana kekuasaan bekerja saat orang dewasa yang semestinya jadi harapan malah berkhianat.

Hari Jumat, 23 April 2021, kabar itu datang seperti kematian. Begitu cepat, begitu mendadak. Sanggar Teater Lumbung yang sudah berdiri sejak tahun 2013 di pinggir Kampung Budaya, berbatasan dengan Kali Kalapa, akan digusur. Pendiri sekaligus pelatih Teater Lumbung, Hendra WP beserta murid-muridnya harus bergegas mengevakuasi harta benda sanggar. Saat itu juga.

Saat saya ke sana, Minggu, 25 April 2021, Kendaraan berat bekerja lebih cepat dari birokrasi, area sanggar Teater Lumbung cuma tersisa sedikit. Kepada saya dan beberapa rekan wartawan lain, Hendra cerita selama dua hari, sebagian inventaris sanggar sudah dipindahkan ke lokasi sementara menggunakan tiga mobil. Rencananya malam Senin, proses evakuasi kelar. Sanggar beserta seluruh kenangan di dalamnya boleh diratakan.

Di kota ini ruang bermain adalah sesuatu yang hilang dan tak seorangpun berharap menemukannya. Para tetangga lebih butuh pagar tinggi daripada pendidikan, jalan-jalan dan rumah kian lebar, semakin banyak orang yang hidup dalam kehilangan*. Situasi itu kira-kira yang mendasari Hendra WP merawat Teater Lumbung.

Saya bertemu Hendra WP pada 2011 silam. Waktu itu sanggar Teater Lumbung menumpang di salah satu ruangan Dinas Pariwisata dan Budaya Karawang. Terlepas dari sifatnya yang kata banyak orang menyebalkan, Hendra WP punya daya hidup terang benderang.

Tahun 2013 sampai 2014, tahun di mana saya memasuki quarter life crisis, kami berproses bareng di Kampung Budaya. Teater Lumbung menempati salah satu rumah di area Kampung Budaya.

Sejak masuk kampus tahun 2009 dan diterima sebagai anggota UKM Teater Gabung Unsika, saya mengangankan sebuah ruang apresiasi sastra. Waktu itu jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia belum lahir. Obrolan para aktivis di kampus cuma seputar bagaimana menumbangkan pemerintahan SBY saat itu juga.

Upaya saya menghadirkan ruang apresiasi sastra dimulai ketika seorang kawan menyerahkan formulir masuk Forum Lingkar Pena Karawang tepat setelah saya menerima piala dan duit hadiah lomba menulis cerita pendek tahun 2010 awal. Setahun setelahnya, ketika saya menjabat sebagai pengurus Teater Gabung, ruang itu saya hadirkan lewat program Kepo (Kesenian Pojok). Kepo kemudian berkembang tidak hanya di dalam kampus, tapi juga di luar kampus dengan nama: Malam Puisi.

Di tahun berikutnya, saya dan Hendra WP, juga beberapa kawan lain, menginisiasi kumpulan yang kami beri nama Fotosintesa (Forum Tokoh Sinema Teater dan Sastra). Tokoh di sini merujuk pada pemeran dalam pertunjukan drama. Bukan orang yang terkemuka dan kenamaan di bidang tertentu.

Salah satu program Fotosintesa (tahun-tahun selanjutnya, Fotosintesa berganti nama jadi Fotosintesa+ karena masuknya seorang kawan pegiat seni rupa) adalah Malam Puisi.

Bagi saya, Malam Puisi bukan hanya ruang apresiasi sastra tapi juga penolong kala hubungan asmara yang remuk, karier yang tidak jelas, kuliah yang berantakan, bersamaan menimpa saya. 🙁

Konsep Malam Puisi sebenarnya sederhana. Penonton disilakan mengalihwahanakan teks-teks puisi. Mau itu dalam bentuk dramatisasi, musikalisasi, deklamasi, semua boleh dilakukan. Malam Puisi dihelat tiap dua minggu sekali di Kampung Budaya.

Seperti kawan lama datang bercerita, Hendra WP dan Teater Lumbung menyambut kami, saya, Gus Muhammad AR, Galang Inoe Soesilo, dan Panji Mayza Perdana. Kami kerasan.

Tiap malam kami makan bersama. Kalau ada uang lebih, membuat nasi liwet. Saya selalu menantikan sambal goang buatan Hendra WP yang enak tiada duanya. Itu adalah masa-masa penuh gairah di mana kami merasa mampu mengatasi keruwetan dunia kesenian Karawang. Kami membuat pertunjukan, merencanakan bikin film pendek, dan tentu saja berkompetisi menulis.

Letupan gairah itu berhenti ketika Kampung Budaya akan diresmikan. Perintah datang dari dinas untuk Teater Lumbung agar angkat kaki. Malam-malam, tepat sehari sebelum peresmian, saya membantu mengosongkan rumah dengan perasaan kosong.

Teater Lumbung memindahkan sanggarnya ke area kosong di belakang Kampung Budaya yang berhadap-hadapan dengan kali Kelapa. Dimulai dari sepetak tanah yang diplester menggunakan semen, sanggar itu berdiri tahun 2013.

Hendra memang menempati lahan secara ilegal. Sebagaimana warga pinggiran Jakarta menempati lahan di pinggir-pinggir sungai. Sebagaimana warga di Ciampel sana menggarap lahan milik Perhutani. Tapi selalu ada alasan andaikan pemerintah belajar mendengar suara dari pinggiran. Orang-orang di pinggiran menerima lebih sedikit dari apa yang mereka butuhkan. Mereka tidak memiliki apa-apa selain impian. Meminjam kalimat Arai kepada Ikal dalam tetralogi Laskar Pelangi: orang-orang seperti kita, boi, tidak punya apa-apa selain mimpi dan cita-cita. Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati.

Kekeraskepalaan Hendra dan murid-muridnya bertahan meski pada akhirnya cuma menunda kekalahan, mengingatkan saya pada Santiago dalam The Old Man and the Sea-nya Hemingway.

Plot novela tersebut sederhana. Seorang pelaut tua yang harga dirinya tingginya minta ampun, mati-matian bertarung dengan ikan gergaji raksasa. Kepada muridnya ia bilang: but man is not made defeat. A man can be destroyed, but not defeated!

“Tetapi manusia tidak diciptakan untuk dikalahkan, ia bisa dihancurkan, tapi tidak dikalahkan!”

Kepada kami saat mengunjunginya, Hendra berkata tanpa kehilangan tenaga, “sanggar boleh rata. Anak-anak tidak.” Suaranya disela deru kendaraan berat dan erangan gergaji mesin. Di luar, sanggar yang menemani proses mereka selama kurang lebih delapan tahun hampir tanpa sisa. Kami tahu, mereka berantakan luar dalam.

Kalian telah melawan, sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya. (fzy)

——————————————————————————–

*Bait puisi Melihat Api Bekerja, karya Aan Mansyur