JAKARTA – Muncul wacana pilkada serentak dimajukan menjadi September 2024 setelah sebelumnya ditetapkan pada 25 November 2024. Bahkan, pemerintah disebut-sebut telah menyerahkan draf perubahan regulasi itu ke DPR RI.
Komisioner KPU RI Mochammad Afifuddin menilai, jika benar pilkada serentak memang akan dimajukan, ada potensi menambah beban teknis bagi penyelenggara. Sebab, jika maju, tahapan pilkada serentak akan berlangsung di tengah tahapan pemilu yang juga sedang berjalan.
”Ya, secara praktis bertambah, dalam arti irisan tahapan di waktu yang sama lebih banyak,” ujarnya, Senin, 4 September 2023.
Baca juga: Ogah Jadi Alat Politik, Jaksa Agung Tunda Perkara Capres, Caleg dan Kepala Daerah Selama Pemilu 2024
Meski demikian, lanjut Afif, sapaan Afifuddin, selaku penyelenggara, pihaknya tentu akan tetap mengikuti apa pun ketentuan yang ada. Jika ada perppu yang kemudian menetapkan pilkada dimajukan, KPU akan siap menjalankannya. Konsekuensinya, pihaknya juga harus memastikan jajaran bersiap menjalankan tahapan yang bakal lebih padat.
”Kita siapkan jajaran semua untuk menyesuaikan situasi atas kemungkinan-kemungkinan peraturan yang muncul,” imbuhnya.
Hingga saat ini, Afif mengaku belum mendapat informasi perihal pelaksanaan pilkada serentak bakal dimajukan. Kalaupun ada komunikasi yang disampaikan pemerintah maupun DPR, Afif menduga wacana pilkada serentak dimajukan disampaikan langsung melalui Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari.
Mengutip Jawapos, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyatakan, pihaknya belum mempelajari dasar munculnya wacana itu. Namun, dia menegaskan, biasanya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terbit ketika ada kegentingan yang memaksa.
”Saya belum mempelajari apa yang mendasari rencana dikeluarkannya perppu tentang pilkada serentak. Nanti saya mencari info dulu ke DPR,” kata Mahfud.
Baca juga: Politik Uang Mengakar Sampai Desa, Bawaslu Karawang Minta Warga Aktif Awasi Pemilu 2024
”Pada dasarnya, penentuan suatu keadaan itu genting dan memaksa atau tidak berdasar Pasal 22 UUD 1945 itu menjadi hak subjektif presiden,” sambung dia.
Karena itu, lanjut Mahfud, bila presiden menilai ada suatu hal yang menyebabkan munculnya keadaan genting yang memaksa, perppu sangat mungkin diterbitkan. Lain halnya dengan keadaan bahaya yang diatur dalam Pasal 12 UUD 1945.
”Jika presiden mau menyatakan negara dalam keadaan bahaya, ukurannya sudah ditentukan oleh undang-undang. Tak bisa lagi menggunakan hak subjektif presiden,” ungkap dia.
Kendati begitu, penerbitan perppu dengan hak subjektif presiden tersebut masih bisa diuji lewat political review maupun judicial review. ”Diuji secara politik artinya harus dibahas di DPR pada masa sidang berikutnya. Jika DPR setuju, terus berlaku. Kalau DPR tidak setuju, harus dicabut atau dibatalkan,” paparnya.
Sementara itu, judicial review dilakukan MK lewat uji materi maupun uji formal perppu tersebut. Mereka bisa membatalkan apabila menilai perppu yang diterbitkan itu bertentangan dengan konstitusi.
Sebelumnya sejumlah elemen menyoroti rencana memajukan pilkada serentak tersebut. Mereka mengkhawatirkan hal itu berdampak pada beban penyelenggara pemilu. Semua pihak tentu tidak ingin tragedi banyaknya petugas pemilu yang meninggal dunia seperti di Pemilu 2019 terulang. (*)