
KARAWANG – Matahari sudah tinggi ketika tiga ibu melangkah cepat ke bibir pantai di Tanjungpakis, Karawang. Bekal untuk suami mereka yang pergi melaut sudah disiapkan, kini saatnya mereka menjalani peran lain: memilah sampah.
Tak jauh dari garis ombak, tumpukan sampah memenuhi keranjang-keranjang besar. Jemari mereka cekatan memilah botol-botol plastik, tutup botol, dan sisa-sisa kemasan lain yang mungkin bagi sebagian orang hanya sekadar limbah.
Di balik aktivitas yang tampak sederhana itu, tersimpan semangat besar. Para istri nelayan ini bukan hanya membantu suami mencari nafkah tambahan, tapi juga sedang menjaga laut mereka dari pencemaran.
Baca juga: Kisah Pemudik Tempuh 12 Jam demi Kampung Halaman: Karena Pergi Caraku Menciptakan Rindu
Sudah satu setengah tahun terakhir mereka aktif mengelola Bank Sampah—sebuah program yang lahir dari inisiatif warga bersama Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) dan Kelompok Kerja Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (KKPMP) Tanjungpakis.
Sampah botol air mineral, terutama ukuran 600 ml dan 1,5 liter, jadi incaran utama. Harganya yang mencapai Rp 6 ribu per kilogram menjadikannya sampah ‘premium’.
Tak ketinggalan, botol kecil, tutup botol, hingga ember plastik, semua punya nilai jual sendiri. Sampah, bagi mereka, bukan sekadar kotoran. Itu sumber pendapatan.
“Dulu kami bingung harus bagaimana saat tangkapan ikan sedikit. Sekarang, sambil membersihkan kampung, kami juga bisa nabung,” kata salah satu ibu sambil menyeka peluh di dahi.

Program Bank Sampah ini bermula dari pembagian tempat sampah dan buku tabungan ke 114 rumah. Setiap kepala keluarga otomatis menjadi nasabah. Dua kali seminggu, petugas dari KKPMP—yang juga warga sekitar—mengangkut sampah dari rumah ke tempat pemilahan.
Sampah yang bernilai ekonomis dijual ke pengepul, sisanya dimusnahkan. Hasil penjualannya dibagi: sebagian untuk biaya operasional, sisanya masuk ke tabungan warga.
“Kami senang, ada yang dalam tiga bulan bisa nabung sampai Rp 400 ribu. Ini jadi bukti, buang sampah pada tempatnya bisa menghasilkan uang,” tutur Sopyan Iskandar, Ketua KKPMP.
Namun, jalan belum sepenuhnya mulus. Sopyan mengakui, masih ada warga yang buang sampah sembarangan. Bukan semata karena malas, tapi karena wilayah pesisir sulit dijangkau armada dinas kebersihan. Jauh, terisolasi, dan mahal untuk dijangkau dengan jasa pengangkut swasta.
“Makanya, kami bikin program ini. Murah, gotong royong, dan warga ikut terlibat. Kita ubah kebiasaan, pelan-pelan,” ujarnya.
Baca juga: Sekda Karawang Ingatkan ASN Harus Jadi Pelopor Kebersihan, Membandel Ada Hukuman
Tak hanya berhenti di plastik, Sopyan punya mimpi lebih besar. Ia ingin menjadikan eceng gondok—yang banyak tumbuh liar di saluran irigasi—sebagai bahan baku pembungkus ramah lingkungan. Juga ingin mengolah limbah laut seperti kerang berduri yang biasa dibuang nelayan jadi suvenir bernilai jual.
PHE ONWJ menyambut antusias mimpi itu. Menurut R. Ery Ridwan, Head of Communication, Relations & CID PHE ONWJ, program ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), terutama poin tentang ekosistem laut dan konsumsi bertanggung jawab.
“Kami percaya, kolaborasi antara masyarakat dan sektor swasta bisa melahirkan solusi inovatif. Ini bukan hanya soal sampah, tapi soal memberdayakan dan membuka peluang ekonomi bagi masyarakat pesisir,” ujar Ery.
Di Tanjungpakis, kisah soal sampah ternyata bisa jadi cerita tentang harapan. Tentang tangan-tangan sederhana yang menjaga laut tetap bersih, dan dompet tetap terisi. Tentang bagaimana perubahan bisa dimulai dari rumah, dari jemari ibu-ibu yang tak lelah memilah dan merawat masa depan. (*)