Beranda Regional Kerukunan Empat Agama di Vihara Avalokitesvara Pamekasan

Kerukunan Empat Agama di Vihara Avalokitesvara Pamekasan

PAMEKASAN, TVBERITA.CO.ID– Tak terasa sudah 10 tahun, Kosala Mahinda, menjadi penjaga empat tempat ibadah berbeda di Dusun Candi Utara, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan.

Tugas itu merupakan warisan kedua orangtuanya yang sudah meninggal. Sejak menggantikan orangtuanya, Kosala—panggilan Kosala Mahainda—tidak hanya merawat, tetapi juga merenovasi semua tempat ibadah, menatanya, agar keberadaan tempat ibadah tetap eksis.

Empat tempat ibadah itu yakni Musala untuk umat Muslim, Pura untuk umat Hindu, Lithang untuk umat Konghucu, Dhammasala untuk umat Buddha. Keempatnya menyatu dalam satu lokasi dan sama-sama berdiri megah.

Hanya saja, antara bangunan musala dan tiga tempat ibadah lainnya, dibatasi pagar. Dari luar pagar, tampak dua bangunan pagoda kembar menjulang yang dibangun pada 2010 lalu.

Kosala menceritakan, umat agama yang ada di dalam kompleks Vihara Avalokitesvara, tidak pernah bergesekan dan ketersinggungan paham keagamaan.

Bukan hanya saat ini tapi sejak tiga abad lebih, sebelum arca Dewi Kwan Im dan beberapa patung stupa ditemukan di Desa Polagan.

“Umat muslim dan lainnya di vihara sudah damai sejak dulu ketika arca Dewi Kwan Im ditemukan pertama kali pada abad 14 masehi oleh petani di sekitar vihara ini,” kata Kosala saat ditemui TVBERITA.CO.ID-, Rabu (21/2/2018).

Kedamaian itu terus dirajut antar pemeluk agama di dalam dan di luar vihara.

Salah satu caranya, menggunakan media kesenian dan kebudayaan serta berbagi kebahagiaan di hari-hari besar keagamaan.

Sewaktu-waktu, warga sekitar vihara dan pengelola vihara menggelar pementasan wayang berbahasa Madura. Pementasan wayang kadang sampai larut malam.

“Kalau sudah ada pentas wayang, masyarakat langsung guyub datang ke vihara untuk menonton. Kebetulan dalangnya juga warga sekitar. Saya menyiapkan kelengkapan pementasan wayang termasuk wayangnya sendiri,” ujar Kosala.

Selain pementasan kebudayaan, saat momentum hari raya Imlek, umat Konghucu bagi-bagi angpao kepada masyarakat sekitar.

Masyarakat sekitar, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, berbondong-bondong datang ke vihara untuk silaturahim dan menerima angpao.

“Pokoknya kalau sudah hari raya, semuanya senang karena saling silaturrahim,” imbuh Kosala. Sebaliknya, ketika hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, umat muslim saling berbagi makanan kepada penghuni vihara.

Umat muslim saling bergantian memberi makanan. “Kalau hari raya, yang beragama Islam mengantarkan makanan ke vihara,” ungkap Novem, karyawan vihara yang beragama Islam.

Novem dan beberapa rekannya sesama muslim di vhara, tak pernah merasa risih dengan bunyi-bunyian dan puja-pujaan di dalam vihara.

Ketika sudah waktunya salat lima waktu, langsung mengerjakan di musala yang ada di dalam vihara. “Kalau sudah adzan berkumandang, kami yang muslim solat di dalam komplek vihara yang sudah ada musalanya,” ujar Novem.

Toleransi agama semacam ini, bagi masyarakat Dusun Candi tak ingin ternodai dengan aksi-aksi intoleransi yang sedang marak terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Sepanjang sejarah berdirinya vihara, belum pernah ada peristiwa intoleransi meskipun banyak agama di dalamnya.

“Intoleransi di Indonesia saat ini karena sempitnya pemikiran.

Jangan sampai hal itu terjadi di vihara ini,” ungkap Kosala Mahinda.(KB)