Beranda Regional Utamakan Kepentingan Politik, Wiranto Dianggap Beri Contoh Buruk Bernegara

Utamakan Kepentingan Politik, Wiranto Dianggap Beri Contoh Buruk Bernegara

JAKARTA, TVBERITA.CO.ID- Permintaan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto agar Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menunda rencana pengumuman tersangka korupsi peserta Pilkada Serentak 2018 dianggap sebagai contoh buruk praktek bernegara.

Alasannya, dalam negara hukum seperti di Indonesia, hukum adalah panglima yang harus selalu diutamakan dibandingkan kepentingan apapun, termasuk kepentingan politik seperti Pilkada.

“Contoh praktek buruk bernegara yang menempatkan kepentingan politik di atas kepentingan hukum,” kata Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono kepada TVBERITA.CO.ID-, Rabu (14/3/2018).

Pernyataan Wiranto tersebut juga dianggap muncul lantaran bias posisinya sebagai penyelenggara negara dan sekaligus sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang rawan kepentingan politik.

“Posisi Menko Polhukam yang juga dewan pembina partai politik tentu rawan menimbulkan konflik kepentingan. Mengingat dalam Pilkada 2018 ini parpolnya banyak terlibat mengusung atau mendukung calon kepala daerah,” kata Bayu.

“Karenanya permintaan untuk menunda proses hukum terhadap calon kepala daerah ini bisa ditafsirkan macam-macam oleh publik, termasuk tafsir adanya kepentingan-kepentingan tertentu,” sambung Pakar Hukum Tata Negara tersebut.

Tak hanya itu, kekhawatiran Wiranto bahwa akan ada politisasi dalam penetapan calon kepala daerah peserta Pilkada sebagai tersangka kasus korupsi oleh lembaga anti-rasuah juga dinilai berlebihan.

Sebab, bagi calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka pada dasanya punya sarana untuk membela diri dalam waktu cepat dan singkat yaitu melalui mekanisme praperadilan.

“Di mana jika memang dapat dibuktikan penetapan tersangka dianggap tidak didasarkan pada minimal 2 alat bukti yang sah maka hakim praperadilan dalam waktu yang singkat dapat membatalkan penetapan tersangka tersebut,” kata Bayu.

Polemik penetapan tersangka Pilkada Serentak 2018 bermula usai Wiranto meminta KPK untuk menunda rencana pengumuman tersangka korupsi peserta Pilkada Serentak 2018.

Namun, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang justru menolak permintaan penundaan proses hukum tersebut.

Padahal, rencananya, pengumuman penetapan tersangka akan dilakukan KPK pada pekan ini.

“Kalau sudah ditetapkan sebagai pasangan calon menghadapi pilkada serentak, kami dari penyelengara minta ditunda dululah,” ujar Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (12/3/2018).

Menurut pemerintah, penetapan pasangan calon kepala daerah sebagai tersangka justru akan berpengaruh kepada pelaksanaan pilkada.

Hal itu juga bisa dinilai masuk ke ranah politik. Penetapan tersangka calon kepala daerah oleh KPK juga dinilai akan berpengaruh pada pelaksanaan pencalonannya sebagai perwakilan dari partai politik atau yang mewakili para pemilih.

Menanggapi usulan itu, Saut mengatakan, lebih elegan jika pemerintah menerbitkan aturan dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengganti peserta pilkada yang tersangkut kasus pidana, ketimbang meminta proses hukumnya ditunda.

“Lebih elegan solusinya bila sebaiknya pemerintah membuat perppu pergantian calon terdaftar bila tersangkut pidana, daripada malah menghentikan proses hukum yang memiliki bukti yang cukup, ada peristiwa pidananya,” kata Saut lewat pesan singkat, Selasa (13/3/2018).

Saut mengatakan, menunda proses hukum justru berakibat tidak baik untuk angka indeks persepsi korupsi Indonesia.

Ia tidak sependapat jika penetapan tersangka peserta pilkada berpotensi mengganggu penyelenggaraan pesta demokrasi itu. Justru dengan memproses peserta pilkada yang punya persoalan hukum akan membantu rakyat memilih pemimpin yang bersih.(KB)